Pacu Jalur Riau Mendunia Berkat Tari 'Aura Farming' Rayyan, Tradisi Viral yang Masuk Agenda Nasional 2025
Suarakyat - Bayangkan sebuah perahu panjang meluncur deras di sungai deras, dihiasi ukiran indah dan diiringi sorak-sorai ribuan penonton. Itulah Pacu Jalur, tradisi balap perahu dayung khas masyarakat Riau yang sudah berusia ratusan tahun. Tapi di tahun 2025 ini, acara yang biasanya hanya dikenal di kalangan lokal tiba-tiba meledak jadi sensasi global. Penyebabnya? Seorang bocah kecil bernama Rayyan Arkan Dikha, yang dengan lincah menari di atas perahu sambil "farming aura" – istilah kekinian untuk gerakan tarian yang memancarkan pesona luar biasa. Video singkatnya langsung viral, ditonton jutaan kali di media sosial, dan kini Pacu Jalur resmi masuk dalam agenda nasional pariwisata Indonesia.
Saya ingat pertama kali melihat video itu di feed Instagram saya. Rayyan, yang baru berusia 8 tahun, berdiri tegak di ujung perahu pacu yang sedang melaju kencang. Dengan kostum adat berwarna cerah, dia menggerakkan tangan dan kakinya seperti sedang memanggil angin sungai. Gerakannya campuran antara tarian tradisional Melayu dan gaya freestyle anak muda zaman sekarang, yang netizen sebut sebagai "Tari Aura Farming". "Aura farming" ini sebenarnya slang dari komunitas online, artinya membangun karisma atau energi positif yang bikin orang terpikat. Rayyan melakukannya dengan sempurna – senyum lebar, mata berbinar, dan gerakan yang sinkron dengan irama dayung. Tak heran, dalam seminggu, video itu sudah dibagikan ulang oleh influencer dari mancanegara, termasuk seleb Hollywood yang bilang, "This kid is stealing the show!"
Pacu Jalur sendiri bukan sembarang balapan. Diadakan setiap tahun di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, acara ini melibatkan perahu kayu sepanjang 25-40 meter yang didayung oleh 40-60 orang. Perahunya dibuat dari pohon meranti raksasa, diukir dengan motif naga atau burung enggang yang melambangkan kekuatan alam. Balapannya bukan cuma soal kecepatan, tapi juga ritual adat: ada doa bersama, musik tradisional seperti gendang dan serunai, serta pesta rakyat yang berlangsung berhari-hari. Tahun ini, festival Pacu Jalur digelar dari 20-25 Juli, dan Rayyan tampil sebagai bagian dari tim perahu desanya. "Saya cuma ingin bikin orang senang," kata Rayyan saat saya hubungi via telepon kemarin. Bocah asal Teluk Kuantan ini ternyata belajar menari dari kakeknya, yang dulunya pendayung legendaris. "Tari ini seperti mantra, biar perahu kami menang," tambahnya polos.
Viralnya Rayyan tak cuma bikin Pacu Jalur ramai dibicarakan di Indonesia, tapi juga mendunia. Hashtag #PacuJalurViral sudah tembus 5 juta views di TikTok, dengan pengguna dari Eropa dan Amerika yang penasaran sama budaya Sungai Kuantan. Bahkan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif langsung bereaksi. Mereka mengumumkan bahwa Pacu Jalur akan jadi bagian dari agenda nasional 2025, termasuk dalam rangkaian event "Wonderful Indonesia" untuk menarik wisatawan asing. "Ini kesempatan emas buat promosikan warisan budaya kita di era digital," ujar seorang pejabat kementerian yang enggan disebut namanya. Bayangkan, tahun depan, festival ini bisa jadi seperti Songkran di Thailand atau La Tomatina di Spanyol – penuh warna, adrenalin, dan cerita inspiratif.
Tapi di balik kegemerlapan viral, ada cerita lebih dalam. Pacu Jalur mengajarkan nilai gotong royong dan harmoni dengan alam. Di tengah banjirnya konten modern, tradisi ini mengingatkan kita bahwa akar budaya bisa tetap relevan jika dikemas segar. Rayyan, si kecil dengan aura farming-nya, jadi simbol bagaimana generasi muda bisa jadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. "Saya harap lebih banyak anak ikut Pacu Jalur, biar tradisi ini nggak hilang," kata ayah Rayyan, seorang nelayan setempat.
Jadi, jika kamu lagi cari inspirasi liburan atau sekadar cerita menghangatkan hati, Pacu Jalur adalah jawabannya. Tahun depan, siapa tahu kamu bisa ikut dayung atau sekadar nonton Rayyan beraksi lagi. Budaya Indonesia memang luar biasa – viral hari ini, abadi selamanya.